jatuhHAT1: jebakan “fatal” PENDAPATAN MENENGAH

cara L0L0$ dari JEBAKAN

CARA LOLOS DARI JEBAKAN (2)

Sri Mulyani Sebut UU Cipta Kerja Bisa Buat RI Keluar dari Jebakan Kelas Menengah

RI Makin Susah Keluar dari Jebakan Ini

TRAP: cara menghindarkan jebakan penghasilan menengah

dreaming

The middle-income trap

The forces of economic convergence are powerful, but not all powerful. Poor countries tend to grow faster than rich ones, largely because imitation is easier than invention. But that does not mean that every poor country of five decades ago has caught up, as today’s chart shows. It plots each country’s income per person (adjusted for purchasing power) relative to that of America, both in 1960 and in 2008. The chart appeared in the World Bank’s recent China 2030 report. If every country had caught up, they would all be found in the top row. In fact, most countries that were middle income in 1960 remained so in 2008 (see the middle cell of the chart). Only 13 countries escaped this middle-income trap, becoming high-income economies in 2008 (top-middle). One of these success stories, it should not be forgotten, was Greece.

yang tidak lolos JEBAKAN : Argentina 2018
yang lolos JEBAKAN PENDAPATAN MENENGAH:
mid income trap 2012 world bankB
CARA L0L0$:
Marc Saxer: (academia.edu) The Middle Income Trap is usually understood as the challenge of graduation to the next growth model. Amidst social and political conflict, however, what is necessary to graduate may not be implementable politically. Innovation led growth requires a skilled workforce. However, as long as the established middle class feels abused, it is not ready to pick up the tax bill for such redistributive capacity building. Solidarity between the classes cannot be imposed, but is only possible if millions of former farmhands are integrated into the social contract. The failure to upgrade human capital, however, will make the economic growth engine stutter. The Middle Income Trap therefore needs to be understood as a transformation trap, e.g. the inability to resolve the political and social contradictions of transformation. In the race for development, the greatest challenge is to unleash the dynamic of creative destruction while maintaining political stability. Only a social compromise between established and aspirational classes can generate the political stability needed to move up the value chain. Hence, a progressive transformation project needs to lay the social foundation for sustainable development. The paradigm discourse needs to be shifted from communalist patronage and identity politics to social empowerment and economic development.
tsunamiSMALL

nbb.be: China’s economic development is the success story of recent decades, but the growth of the Chinese economy has lost momentum in the past few years. Such a slowdown is a normal phenomenon as a country becomes richer, and the question is therefore whether China can maintain its rapid convergence towards the advanced countries’ standard of living, or, in other words, whether China can avoid what is known as the “middle-income trap”.

The concept of the “middle-income trap” originated from the observation that a number of countries remained in the middle-income category for a long period on the basis of their GDP per capita, and did not join the group of rich, advanced countries. This shows that the transition from a middle-income country to a high-income country is much more difficult than the first development phase from low- to middle-income country. The underlying reason is that the initial development strategy based on labour-intensive production and the attraction of foreign technologies and capital runs out of steam after a while, whereas the new growth strategy, driven by productivity gains, is often difficult to establish.

Apart from the normal growth slowdown that accompanies economic convergence, correction of the unbalanced composition of expenditure and production, high debt levels and rapid population ageing will depress China’s future growth. Measures are necessary to avoid a financial crisis and curb the accumulation of additional debts, without jeopardising the growth potential. The challenge consists in finding the right balance in which rebalancing goes hand in hand with industrial upgrading. Demographic trends are also working to China’s disadvantage: never before has a country had to contend with population ageing at such an early stage of economic development.

Nonetheless, in other respects China has a sound basis for achieving future growth driven by productivity gains, such as its specialisation in relatively sophisticated export products, a modern infrastructure and substantial investment in human capital and R&D. The technological upgrading of the Chinese economy also opens up new opportunities. The strategy adopted aims at a continued growth of Chinese high-tech exports, on-shoring, the acquisition of technologies abroad via outward foreign direct investment, and the establishment of a domestic innovation policy. However, each of these strategies has its limitations: protectionist responses to a further growth of Chinese exports, legal restrictions (in the United States and a number of European countries) on the purchase of technology in strategic sectors by Chinese State-aided enterprises, and potential institutional obstacles concerning innovation.

In view of the many uncertainties, it is hard to say for sure whether China will avoid the middle-income trap. The authors conclude that their analyse allows to be cautiously optimistic on that score.

 real1sas1small

Liputan6.com, Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati angkat suara mengenai kenaikan status Indonesia dari berpendapatan menengah ke bawah (lower middle income country) menjadi negara berpendapatan menengah ke atas (upper middle income country) oleh Bank Dunia.

Menurutnya, hal ini tidak lantas membuat Indonesia mudah menjadi negara berpenghasilan tinggi atau high income.

“Indonesia adalah negara yang masuk dalam katergori upper middle income class ini mulai 2020 ini. Namun, meskipun kita masuk dalam kategori upper middle class, tidak berarti kita bisa terus naik menjadi high income country,” ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama DPD, Jakarta, Selasa (7/7).

Sri Mulyani mengatakan, banyak negara di dunia terjebak dalam waktu yang lama dengan status upper middle income class. Bahkan ada negara yang terjebak status tersebut dalam tempo 3 dekade.

“Banyak negara di dunia yang ada didalam kategori middle income ini namun mereka hampir selama 3 dekade tidak bergerak. Artinya flat atau terperangkat di middle income,” katanya.

Untuk itu, kata Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut, Indonesia tidak boleh berhenti melakukan perubahan agar tak terjebak. Di dunia tercatat hanya dua negara yang mampu keluar dengan cepat dari status upper middle income country.

“Indonesia harus berusaha supaya tidak ada dalam kondisi middle income trap ini. Karena hanya sedikit negara di dunia yang mampu melewati level middle income dan mampu menjadi high income country seperti Singapura dan Korea Selatan,” tandasnya.

2 dari 4 halaman

Masuk Daftar Negara Menengah Atas, Posisi Indonesia Kalah dengan Malaysia

Bank Dunia telah menggolongkan Indonesia sebagai upper middle income country atau negara menengah atas mulai 1 Juli 2020. Status ini naik level dari sebelumnya sebagai middle income country.

Kenaikan status ini didasarkan pada penilaian Bank Dunia terkini, dimana Gross National Income (GNI) per capita Indonesia tahun 2019 naik menjadi USD 4.050 dari posisi sebelumnya USD 3.840.

Meski masuk ke dalam jajaran negara menengah atas, ternyata Indonesia masih berada di urutan paling bawah. Hal ini dapat dilihat dari GNI Indonesia, yang meskipun melampaui batas penghasilan minimum yang ditetapkan Bank Dunia dalam menentukan negara menengah atas, masih jauh di antara negara-negara menengah atas lain.

Berdasarkan laporan Bank Dunia tahun ini, penghasilan minimum bagi negara upper middle income adalah USD 4.046. Sementara, GNI per capita Indonesia menyentuh angka USD 4.050, dimana selisihnya hanya 4 basis poin.

Lalu di atas Indonesia, ada beberapa negara berpenghasilan menengah atas yang juga berada di urutan terbawah tahun ini namun GNI-nya masih lebih besar dari Indonesia, seperti Samoa yaitu USD 4.180, Yordania sebesar USD 4.300, dan Azerbaijan sebesar USD 4.480.

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah mengakui middle income trap atau jebakan kelas menengah pemerintah masih menjadi permasalahan yang diwariskan ke generasi selanjutnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan upaya yang dilakukan oleh pemerintahan yang satu ke pemerintahan selanjutnya telah mencapai kondisi pertumbuhan ekonomi seperti saat ini.

Dia mengatakan tantangan ke depan terutama ada pada jebakan kelas menengah untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang maju dan menjadi Indonesia Emas 2045.

“Ke depan ada middle income trap, ini sudah waktunya bagi generasi millenials untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Ini estafet namanya,” ungkapnya di Jakarta pada Rabu (31/10/2018).

Dia mengemukakan hal itu pada Dialog Lintas Generasi Melanjutkan Estafet Pembangunan Ekonomi Menuju Indonesia Emas 2045 yang diselenggarakan dalam rangka peringatan Hari Oeang ke-72.

Sri Mulyani melanjutkan permasalahan perekonomian saat ini sangat banyak dan tidak mungkin hanya memanfaatkan birokrasi dengan solusi top down.

Menurutnya, diperlukan inisiatif-insiatif yang dilakukan generasi muda untuk mengakselerasi penyelesaian segala masalah. Menkeu mengutarakan yang menjadi tantangan saat ini adalah teknologi, pembangunan sumber daya manusia, serta infrastruktur.

Ada middle income trap, ini sudah waktunya bagi generasi millenials untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Ini estafet namanya

Sementara itu, CEO Tokopedia William Tanuwijaya mengatakan teknologi dapat menjadi alat agar Indonesia dapat melompat dan mempercepat akselerasi pertumbuhan ekonomi.

“Hal-hal seperti gap [antara daerah dan pusat] dapat diselesaikan dengan teknologi. Internet sudah masuk 1 dekade, awalnya Indonesia hanya pasar. Namun, beberapa tahun terakhir banyak anak muda melihat ini sebagai potensi, maka lahirlah perusahaan-perusahaan Indonesia yang menyelesaikan masalah ini,” tuturnya.

Dengan demikian, dalam pandangan William, teknologi menjadi lompatan Indonesia untuk memperbaiki berbagai permasalahan.

long jump icon

Merdeka.com – Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, mengatakan Indonesia harus mencontoh Korea Selatan dalam memanfaatkan kegiatan penelitian dan pengembangan atau Research and Development (RnD) untuk keluar dari julukan negara berpendapatan menengah. RnD yang dimaksud salah satunya bertujuan melakukan inovasi.

“Saya lihatnya jangan tanggung-tanggung ASEAN. Kita lihat langsung ke Korea Selatan lah. Itu bisa jadi patokan karena bisa keluar dari middle income trap (negara berpendapatan menengah) karena basisnya RND,” ujar Menteri Bambang di Kantor Bappenas, Jakarta, Kamis (30/8).

Menteri Bambang mengatakan, pemerintah sendiri telah berupaya mengajak swasta untuk ikut serta melakukan RnD di Indonesia. Salah satunya dengan memberikan insentif berupa tax deduction kepada perusahaan yang melakukan penelitian tanpa dana pemerintah.

“Kita mengajak peran swasta, mendorong agar perusahaan di Indonesia mengembangkan RND sehingga ada jalur penelitian dari non pemerintah. Jadi tidak harus penelitian hanya datangnya dari pemerintah,” jelas Menteri Bambang.

Mantan Menteri Keuangan tersebut menambahkan, inovasi ke depan akan sangat berbasis kepada RND dan dibutuhkan untuk menghadapi persaingan ekonomi. Tidak bisa dipungkiri, RND juga sangat berpengaruh kepada pertumbuhan ekonomi karena akan berdampak kepada ekspor Indonesia.

“Inovasi dan enterpreneurship ke depan akan sangat berbasis kepada RND. Tidak lagi inovasi yang kurang scientific base. RND ini sudah jadi kebutuhan untuk antisipasi persaingan masa depan. Namanya daya saing, kemampuan eksport produk, kemampuan kita mendorong investasi skala besar sangat bergantung pada kemampuan RND kita,” jelasnya.

[bim]

 Emoticons0051

Jakarta detik- Program padat karya cash yang dicanangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan dimulai Januari 2018 mendatang. Program ini diharapkan bisa mendongkrak daya beli masyarakat dan mengurangi kemiskinan di desa.

Dirjen Pembangunan Kawasan Perdesaan (PKP) Kemendes Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), Ahmad Erani Yustika menjelaskan, lewat padat karya cash, masyarakat desa bisa terlibat langsung dalam pembangunan infrastruktur pedesaan.

“Kalau kami nanti mulai 2018 akan meminta agar setiap program di kawasan pedesaan misalnya bangun jalan itu juga menggunakan tenaga kerja lokal,” kata Erani di Kemendes PDTT, Jakarta Selatan, Selasa (19/12/2017).

Erani menambahkan, padat karya cash merupakan alokasi dana desa yang disiapkan khusus untuk masyarakat pedesaan yang terlibat langsung dalam pengembangan desanya. Masyarakat desa yang terlibat langsung bisa merasakan manfaat dari dana desa yang digulirkan pemerintah pusat.

“Selama ini dana desa banyak digunakan untuk infrastruktur bangun jalan, jembatan, dan seterusnya itu kemudian harus dipadatkaryakan. Semua menggunakan tenaga kerja desa dan setelah itu baru mereka dibayar digaji harian,” kata Erani.

Besaran upah yang dibayarkan kepada masyarakat yang terlibat langsung dalam pembangunan infrastruktur desa pun mengikuti acuan di masing-masing daerah.

“Belum dibahas, tapi mengikuti patokan upah di masing-masing wilayah karena berbeda,” kata Erani.

Kehadiran padat karya cash juga diyakini bisa mengurangi tingkat kemiskinan di pedesaan. Selain itu, padat karya cash juga diharapkan bisa mendongkrak daya beli masyarakat desa.

“Gede karena 30% dana desa untuk ke sana. Sekitar Rp 20 triliun,” kata Erani. (ara/hns)

real1sas1small

Jakarta, CNN Indonesia — Penduduk Indonesia diproyeksi tak akan memiliki pendapatan level menengah ke atas pada 2050 jika sejak kini pemerintah dan masyarakat tak mampu memanfaatkan bonus demografi sebagai penopang pertumbuhan ekonomi.

Ekonom Chatib Basri menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini masih stagnan di level 5 persen, dan akan bertahan stagnan di masa mendatang jika pemerintah tak berupaya lebih keras mendongkrak perekonomian nasional.

Nantinya, bonus demografi akan hilang seiring berjalannya waktu. Di masa mendatang, hanya akan ada penduduk berusia tua (Ageing Population) yang tak mampu dimanfaatkan untuk menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Dengan proyeksi Price Waterhouse Coopers PWC, pada tahun 2050 pendapatan per kapita US$20 ribu, ada risiko tua sebelum kaya, dan ini masalah,” Jelas Chatib saat membuka Diskusi Panel DBS Asian Insight Conference 2017 di Jakarta, Selasa (21/11).

Menurutnya, pendapatan per kapita US$20 ribu itu tidak cukup untuk membiayai kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan dan hunian.

“Ketika mayoritas populasi sudah mulai tua, tidak bayar pajak, tidak bekerja, tetapi pelayanan kesehatan harus dapat, BPJS harus dipenuhi. Artinya tidak ada pendapatan tetapi negara harus menanggung beban,” terangnya.

Sebenarnya, lanjut Chatib, banyak negara di Asia yang sudah mengalami Ageing Population seperti Jepang dan Korea Selatan.
Hanya saja mereka tak memiliki risiko besar karena pernah menjadi negara maju dan pernah mengalami pertumbuhan ekonomi 11 hingga 12 persen pertahun di masa lalu. Dengan demikian, Jepang dan Korea Selatan sudah bisa tergolong dalam negara berpendapatan atas dengan pendapatan US$ 38.897 dan US$ 27.538 saat ini.

Untuk mengantisipasi stagnansi ekonomi, pemerintah diminta menerapkan strategi untuk memanfaatkan bonus demografi sebagai penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia, yakni melalui konsumsi, dan investasi baik langsung maupun finansial.

“Indonesia harus segera memanfaatkan bonus demografi, di mana pada saat itu konsumsi banyak, tabungannya banyak dan itu dapat menopang pertumbuhan ekonomi yang tinggi,” jelas Chatib

Jakarta detik – Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menilai kondisi saat ini adalah waktu yang paling pas menggenjot pertumbuhan ekonomi. Momen tersebut, yaitu lompatan Indonesia yang saat ini masuk sebagai negara berpendapatan menengah (middle income country).

“Banyak perubahan terjadi di Indonesia. Indonesia adalah negara middle income country. Kita sekarang mencoba membangun momentum pertumbuhan itu,” kata Sri Mulyani saat Peringatan 1 tahun beroperasinya Kantor Regional IFAD di Grand Hyatt, Jakarta, Selasa (8/8/2017).

Saat ini, lanjut dia, pemerintah tengah fokus pada target menurunkan angka kemiskinan dan pemerataan ekonomi.

“Indonesia fokus pada pengurangan kemiskinan, kita masih mempunyai 10% dari populasi kita yang hidup di bawah garis kemiskinan dan juga pertumbuhan yang tak merata. Mengapa kita tak manfaatkan momentum ini,” jelasnya.

Sri Mulyani kemudian bicara strategi pemerintah untuk melakukan lompatan tersebut, yakni fokus pada peningkatan kualitas SDM.

“Apa strategi pemerintah? Sebagai negara dengan populasi besar, demografi usia muda, kita fokus berinvestasi pada SDM. Itulah mengapa betapa pentingnya membelanjakan pada pendidikan, kesehatan, dan pelayanan dasar lain,” ujar Sri Mulyani.

“Tapi ini juga sangat kompleks, bagaimana kita mengatur antara pemerintah pusat dan Pemda, karena sesuai aturan, pendidikan, kesehatan, dan pelayanan dasar sudah didelegasikan ke Pemda,” tambahnya.

Lanjut dia, strategi pemerintah lainnya yakni menggenjot sektor infrastruktur, di mana kebijakan tersebut dianggap efektif mengentaskan kemiskinan dan pemerataan ekonomi.

“Kedua yakni pemerintah Indonesia ingin momentum pertumbuhan untuk mengatasi kemiskinan dan pemerataan ini dilakukan dengan investasi di infrastruktur,” pungkasnya.(idr/hns)

butterfly

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui banyak masyarakat yang khawatir akan kondisi utang Indonesia. Sri Mulyani menjelaskan bagaimana sebenarnya kondisi utang Indonesia dan kenapa pemerintah harus berutang.

Sri Mulyani mengatakan, di 1998 Indonesia dihantam krisis ekonomi. Kemudian di 2008 dan 2014 ekonomi global melemah. Indonesia butuh waktu 20 tahun untuk menangani dampak dari krisis tersebut.

“Namun, fokus pemerintah pada stabilitas ekonomi pasca krisis menyisakan sebuah pekerjaan rumah yang sangat besar, yaitu pembangunan infrastruktur,” kata Sri Mulyani dalam video yang diunggah di akun twitter resmi Kementerian Keuangan dikutip Minggu (30/7/2019).

Kondisi infrastruktur di Indonesia kini jauh tertinggal, dan dikhawatirkan jika tidak segera mengejar ketertinggalan tersebut, Indonesia akan mengalami masalah yang lebih besar. Infrastruktur yang tertinggal berdampak pada biaya ekonomi yang tinggi, rentan inflasi, daya saing rendah dan ketimpangan ekonomi dan sosial.

“Untuk mencegah hal tersebut, Indonesia butuh anggaran besar salah satunya melalui pinjaman,” tuturnya.

Dijelaskan Sri Mulyani, pinjaman tersebut bersifat aman karena digunakan secara produktif untuk pembangunan infrastruktur. Meski aman, pemerintah tetap mengelola utang tersebut dengan hati-hati, profesional dan bijaksana.

Dijelaskan Sri Mulyani, ada 3 hal yang harus diketahui mengenai utang. Pertama, rasio utang Indonesia saat ini 27,7 persen dari PDB dan defisit anggaran berada di kisaran 2,5 persen.

“Hal itu masih berada di bawah batas yang telah ditetapkan undang-undang,” tuturnya.

Kedua, penggunaan dana utang yang produktif. Dana utang yang dulu diperuntukkan untuk subsidi energi, kini dialihfungsikan untuk mendanai pembangunan nasional.

Dalam satu dekade terakhir dengan defisit fiskal 1,6 persen, pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu mencapai 5,6 persen, salah satu yang terbaik di dunia. Jumlah orang yang bekerja meningkat dari 112,76 juta menjadi 118,41 juta orang selama kurun 2013-2018.

Kemudian yang ketiga adalah resiko gagal bayar yang rendah. Sebagian besar utang Indonesia saat ini dalam bentuk rupiah dan dimiliki oleh investor domestik.

“Sehingga aman dari pengaruh ekonomi global,” tambahnya.

Sri Mulyani mengatakan, 3 lembaga pemeringkat kredit internasional menggolongkan Indonesia sebagai negara layak investasi.

“Hal tersebut berarti Indonesia dianggap mempunyai kemampuan bayar yang tinggi dan risiko gagal bayar yang rendah,” tuturnya.

monetarySMALL

JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) telah menyelesaikan Sensus Ekonomi 2016 (SE2016) yang dimulai sejak Mei 2016. Hasil sensus menunjukkan, ada peningkatan usaha sebesar 17,51% menjadi 26,71 juta usaha/perusahaan non pertanian yang ada di Indonesia.

Bila dibandingkan dengan hasil sensus 10 tahun lalu ada kenaikan. Jumlah usaha hasil SE2006 sebesar 22,73 juta usaha, kata Kepala BPS Suhariyanto, Kamis (27/4).

Walau naik 17,51%, namun hasil SE2016 juga menggambarkan bahwa mayoritas perusahaan di Indonesia adalah skala Usaha Mikro Kecil (UMK). Sebanyak 98,33% atau 26,26 juta usaha adalah UMK dan hanya 1,67% atau sebanyak 447,35 unit skala Usaha Menengah Besar (UMB). Merujuk SE2006, BPS mengkategorikan UMB adalah perusahaan dengan omzet lebih besar dari Rp 1 miliar.

Bila dilihat dari total usaha yang ada, sebagian aktivitas ekonomi masyarakat Indonesia dalam 10 tahun terakhir hanya terkonsentrasi di tiga sektor. Pertama, perdagangan besar dan eceran yang total usahanya mencapai 46%. Kedua, penyediaan akomodasi dan makanan minuman sebesar 16,72%. Ketiga, sektor pengolahan sebesar 16,53% . Jadi kalau ditotal tiga itu sudah hampir 79,42%, jelasnya.

Dalam SE 2016 ini juga ditemukan bahwa distribusi tenaga kerja didominasi oleh perusahaan perdagangan besar dan eceran sebanyak 22,4 juta orang atau 31,81% dari tenaga kerja yang ada di Indonesia. Setelah itu berturut-turut dikuti tenaga kerja lapangan usaha industri pengolahan sebesar 15,99 juta orang atau 22,75% dan penyediaan akomodasi dan penyediaan makan minum sebesar 8,41 juta orang atau sebesar 11,97%.

SE2016 juga menggambarkan sebaran perusahaan di wilayah Indonesia belum merata. Sekitar 79,35% perusahaan terkonsentrasi di Kawasan Barat lndonesia (Sumatra dan Jawa). Bahkan jika dikerucutkan lagi sekitar 60,74% berada di Pulau Jawa.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui belum meratanya persebaran usaha. Hal itu terjadi karena struktur ekonomi Indonesia kontribusi terbesar dari Pulau Jawa. Dari ekonomi maupun penerimaan pajak, dominasi itu sangat terlihat,” ujarnya.

ets-small

Liputan6.com, Jakarta – Tak banyak para pekerja di Jakarta yang mampu membeli rumah di mana mereka bekerja. Sebagian besar para pekerja di Jakarta justru hanya mampu membeli rumah di pinggir Jakarta.

Saat ini, hanya ada 17 persen pekerja profesional di Jakarta yang mampu membeli rumah di ibu kota. Pekerja profesional tersebut merupakan generasi milenial.

CEO Karir.com Dino Martin mengatakan, situs pencari kerja, Karir.com dan situs jual beli properti Rumah123.com mengadakan survei beberapa waktu lalu. Survei tersebut ditujukan kepada para pekerja profesional di Jakarta yang lahir antara tahun 1981-1994 atau biasa disebut dengan generasi milenial.

Jumlah responden dalam survei tersebut mencapai 8.510 orang. Dari jumlah tersebut, hanya 1.446 responden atau sekitar 17 persen yang bergaji lebih dari Rp 7,5 juta per bulan.

Sedangkan gaji rata-rata generasi milenial di Jakarta s‎ebesar Rp 6.072.111 per bulan. Sedangkan menurut Rumah123.com, untuk dapat mencicil rumah di ibukota, dibutuhkan gaji minimal Rp 7,5 juta per bulan.

“Dari data Salary Benchmark 1.2 milik Karir.com, hanya 17 persen saja profesional milenial di Jakarta yang memiliki gaji Rp 7,5 juta atau lebih,” ujar dia di Jakarta, Rabu (14/12/2016).

Sementara itu, Country General Manager Rumah123.com Ignatius Untung mengatakan, 17 persen generasi milenial di Jakarta ini harus mulai mencicil rumah dari sekarang. Sebab, semakin lama harga rumah terus meningkat, sehingga semakin sulit bagi para generasi ini untuk bisa membeli rumah.

“Dengan penghasilan Rp 7,5 juta itu pun mereka hanya bisa membeli rumah dengan kisaran harga tertinggi Rp 300 juta. Mempertimbangkan jumlah cicilan kredit pemilikan rumah (KPR), mereka hanya bisa mencicil hingga Rp 2,2 juta per bulan, atau 30 persen dari gaji,” tandas dia. (Dny/Gdn)

 Emoticons0051

JG: Jakarta. A recent report on global wealth distribution showed that the top 1 percent of Indonesians remain in control of half of the country’s wealth despite a dent from weak global commodity prices, reflecting a wide wealth disparity that is unlikely to narrow anytime soon.

The seventh Global Wealth Report by Credit Suisse Research Institute shows that the richest 1 percent of Indonesia’s adult population of 164 million own 49.3 percent of the country’s $1.8 trillion wealth by June this year, a drop from last year’s 53.5 percent.

Indonesia is also the world’s fourth most unequal country, according to the study. Russia’s wealthiest 1 percent owns 74.5 percent assets in the country while in India 58.4 percent and in Thailand 58 percent.

“These numbers showed that social justice in Indonesia is yet to be seen,” Eric Alexander Sugandi, an economist with the Jakarta-based think tank Kenta Institute, said. The report found Indonesia is also home to 30 million of the so-called bottom billion, who own less than $248 worth of assets.

Despite the drop this year, the share of the top 1 percent wealth to the overall population is still trending upward, as they keep accumulating wealth through inheritance and investments, Eric said.

“Indonesia does not have inheritance tax like Japan. So the one percent’s wealth would be multiplied and unlikely to be caught up by the rest of the population,” he said.

Lana Soelistianingsih, an economist from Samuel Assets Management said, the top one percent could have suffered from weak prices of global commodities, mainly coal and palm oil, which made up most of the country’s billionaire’s assets.

Indonesian coal benchmark price was $51.8 per metric ton in June this year, down 13 percent from $59.6 in June last year. Malaysia Palm Oil Futures was up just 2 percent to $618 per metric ton over the period.

Rupiah depreciation against the US dollar — which the report noted totaling 46 percent drop since 2011 — has also caused wealth decline per adult, the report said.

Still, the report also showed that the remaining of Indonesian population saw some increase in their wealth, which serves as a “source of finance for future consumption, particularly for retirement, and for reducing vulnerability to shocks such as unemployment, ill health, or natural disasters.”

The median for wealth in Indonesia is $1,966 for every adult, up 22 percent from last year, the report shows. Indonesia’s total household wealth grew by 6.4 percent in 2016 to reach $1.8 trillion this year with 88 percent of it in form of real assets like property and land, and the remainder was in financial assets like time deposits, bonds and stocks.

The number is projected to increase about 44 percent to $2.6 trillion over the next five years.

Indonesia added 13,000 new dollar millionaires in a year, which added up to 112,000 millionaires who owned a total wealth of $500 billion by mid-year 2016. The report defined wealth as the value of financial assets and housing minus the debts owed by households.

The report estimates that the number of dollar millionaires in the country will increase by 55 percent to 173,000 over the next five years.

About 84 percent of the adult population in the country owns less than $10,000, falling into the “frontier wealth” category — in which an adult’s wealth is ranging from $5,000 to $25,000 — along with other countries like Ecuador, Egypt, Malaysia, Thailand and Tunisia, the report says.

Overall, the global wealth increased by 1.4 percent to $256 trillion, with Japan in the lead with a 19 percent wealth increase due to rate appreciation.

 ets-small

Jakarta kontan. Bank Indonesia (BI)  kembali menyerukan reformasi struktural. Pasalnya, kajian BI menyebut, masalah utama yang dihadapi oleh seluruh wilayah Indonesia masih seputar infrastruktur listrik, sumberdaya manusia (SDM), dan konektivitas, seperti jalan, pelabuhan, dan bandara.

Karena itu, kata Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung, reformasi struktural tidak  bisa ditawar lagi. “Sebab, nanti kita terjebak middle income trap,” katanya, Kamis (6/10).

Minimnya infrastruktur listrik, SDM, dan sulitnya konektivitas menjadi penghadang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Padahal,

  • pembangunan infrastruktur listrik dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi 0,26% per tahun,
  • pengembangan SDM meningkatkan penyerapan tenaga kerja 0,5% per tahun,
  • dan peningkatan efisiensi konektivitas dapat mendorong pertumbuhan 0,27% per tahun.

Jika reformasi struktural berhasil, BI yakin pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat di atas 6%. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan dibarengi dengan inflasi rendah serta defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) sehat. Namun jika gagal, pertumbuhan ekonomi akan terperangkap di level 5%, inflasi tinggi, dan CAD turun.

Juda bilang, Indonesia memiliki waktu 10 tahun dari sekarang untuk berbenah. Untuk itu, optimalisasi reformasi struktural harus dilakukan saat Indonesia mendapatkan bonus demografi.

Usia produktif penduduk Indonesia mengalami masa keemasan sejak tahun 2010. Peluang emas tersebut berakhir pada tahun 2030. “10 tahun lagi bonus demografi sudah berkurang,” katanya.

Menurutnya, Indonesia belum memanfaatkan bonus demografi secara optimal. Itu terlihat dari pertumbuhan yang belum membaik signifikan dan meningkatnya rasio ketergantungan.

Ini menunjukkan kian tingginya beban yang harus ditanggung penduduk usia produktif untuk membiayai hidup penduduk yang belum produktif dan tidak produktif. Sejumlah paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah juga belum menunjukkan perkembangan yang memadai.

Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Lukita Dinarsyah Tuwo bilang, Menteri Darmin Nasution menginginkan adanya paket kebijakan baru yang fokus pada deregulasi daerah.

Tujuannya untuk mengharmonisasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah terkait izin investasi. “Ada memang izin, tapi ada juga persyaratan dijadikan izin,” katanya.

Ekonom senior Universitas Katolik Atma Jaya Agustinus Prasetyantoko bilang, paket kebijakan ekonomi belum menyasar seluruh sektor substansial, seperti kesehatan. Karena itu, diperlukan regulasi tambahan untuk mempercepat reformasi struktural.

 ets-small

The emerging market bond rally is gathering steam.

A global hunt for yield coupled with a post-Brexit shift in economic sentiment in favour of emerging markets has helped drive record inflows and fuel bumper returns.

Emerging market sovereign bond yields have plunged to a record low 4.47 per cent this week, according to Bank of America Merrill Lynch indices. The asset class has returned a tasty 5.7 per cent year to date.

As developed market sovereign bond yields have plunged to new lows and a growing pool of debt – $13trn at the last count- now yields less than zero, investors have poured into emerging market bonds, writes Joel Lewin.

Emerging market debt funds raked in a record $4.9bn last week, according to EPFR data.

Boosted by a more cautious stance from the Federal Reserve, a wave of stimulus from other central banks, a rebound in commodity prices, a weaker dollar and a bumper rally in emerging market currencies, emerging market debt has hit a sweet spot.

Wike Groenenberg at BNP Paribas recently gushed:

EM have only enjoyed such a benign funding sentiment on one previous occasion since the Lehman collapse – at the peak of the US quantitative easing programme in 2012 – which at that time led to a strong performance in EM.

As the stars align in its favour, emerging market high yield corporate debt, one of the riskiest corners of the market, is enjoying a prolific rally.

The average yield for the asset class has plunged to a two-year low 7.45 per cent this week, a rapid turnaround after it ballooned to a four-year high of 11.26 per cent in January.

EM corporate junk bonds have returned 14.2 per cent so far this year, compared with 12.5 per cent for US junk, 5.7 per cent for euro junk and 5.6 per cent for sterling junk.

While Brexit is set to hit economic growth in the UK and Europe, emerging market assets could actually stand to benefit, says Brigitte Posch, head of emerging markets corporate debt at Babson.

Overall, while there may be some Brexit-related headwinds faced by EM corporate debt in the coming years, the asset class looks much less exposed and therefore better positioned than developed market asset classes.

EM Corporate fundamentals are relatively stable and companies have either no exposure or very limited exposure to the UK economy.

Medium to longer- term, the issue may be a relative positive for EM and highlight the independence of EM political and economic institutions.

Emerging market corporate junk bonds are in particularly sweet spot at the moment, says Ms Posch.

A slew of sovereign downgrades over the last few years have dragged emerging market companies into junk territory even though “some of these ‘fallen angels’ on the corporate side have all the attributes of an investment grade credit profile and therefore opportunities to earn a premium do exist” she says.

Last year’s commodities crash and emerging market rout forced EM companies to hunker down, cut costs, slash capex and sell off underperforming assets. As such, average leverage is now lower than in developed markets, meaning emerging market junk-rated companies are ready to ride the good times, or heaven forbid, well prepared to weather another crisis, she adds.

“What could end the benign EM environment?” asks Luis Costa at Citi.

Not much, it seems. Mr Costa writes:

In our view jitters into September FOMC will likely be short lived. Turkey is to remain an idiosyncratic issue. Risks from renminbi depreciation are likely contained in short run. An underwhelming BOJ is still a risk, though [but after today’s action, that seems unlikely].

Even Turkey’s failed coup has failed to dent this EM optimism. It’s done no favour for Turkish bonds but contrary to initial fears of a spillover into other countries’ assets, Turkey’s emerging market bedfellows could be set to benefit.

Mr Costa explains:

We continue to expect very limited fall-out.

With Turkey possibly still in the early stages of an asset price de-rating, other high-yielders — like South Africa — could get disproportionate support. It is plausible that the rand has actually outperformed because investors reallocated some funds from Turkey to South Africa

 ets-small

Bisnis.com, JAKARTA— Rencana pemerintah untuk menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 25% menjadi 17% dapat meningkatkan daya saing Indonesia dengan negara-negara lain. Rencana penurunan PPh tersebut harus melalui proses pembahasan di DPR.

Saat ini tarif PPh sejumlah negara tetangga berada di bawah lndonesia. Vietnam dan Kamboja 20%, Thailand 20%-23%, Laos 24% dan Singapura 17%. Jika disetujui, penurunan tarif PPh Badan tersebut akan berdampak signifikan terhadap investasi, diantaranya terhadap sektor kendaraan bermotor.

Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi asing di sektor otomotif pada semester I/2016 mengalami kenaikan 17% menjadi US$1.304,3 juta dari US$1.118,9 juta pada periode yang sama tahun lalu.

Dengan penurunan tarif pajak di bawah tarif Thailand yang merupakan kompetitor utama sektor otomotif, Indonesia dapat mengambil posisi Thailand menjadi destinasi investasi utama kendaraan bermotor, terlebih ditopang oleh potensi pasar domestik yang besar.

“Namun rencana tersebut perlu dipertimbangkan secara matang agar tidak semakin menekan penerimaan negara,” papar riset HP Financials, Jumat (19/8/2016).

Leave a comment