21/09/2010 – 16:00
Pengangguran di AS Kian Putus Harapan
Vina Ramitha
(huffingtonpost.com)
INILAH.COM, Washington – Sejak gelombang PHK melanda AS pada 2009, warga yang kehilangan pekerjaan makin miskin harapan. Banyak di antara mereka yang menyerah begitu saja. Seperti yang bisa dilihat di foto berita ini.
Tak pernah terbayangkan sebelumnya ada orang yang meminta-minta pekerjaan di negara sebesar Amerika. Tapi itulah faktanya. Seperti terlihat dari foto di atas, seorang pria yang bisa dibilang berpenampilan necis, sedang ‘mengemis’ pekerjaan. Gambaran seperti ini hanya ada di negara miskin.
Kehilangan pekerjaan. Memiliki dua anak untuk diberi makan. Tolong bantu. Demikian tulisan di atas kertas karton yang ia bawa sambil menyusuri bahu sebuah jalanan. Pria ini adalah gambaran dari jutaan pengangguran AS lainnya yang menjadi korban dari krisis ekonomi.
Parahnya, sebuah laporan yang disusun Roosevelt Institute menyebutkan, para pekerja korban PHK ini makin banyak yang pupus harapan dalam mencari pekerjaan. Beberapa di antaranya memutuskan takkan lagi beredar di pasar tenaga kerja AS.
“Prospek pekerjaan untuk pengangguran saat ini menjadi yang terburuk sejak pemerintah mulai menyusun data mengenai hal ini pada 1967 silam,” ujar Arjun Jayadev dan Michael Konczal dari Roosevelt Institute, seperti dilansir Huffington Post, Selasa (21/9).
Per Desember 2007, jumlah pekerja mencapai 146,2 juta, pengangguran 7,7 juta dan yang keluar dari bursa pekerja 79,3 juta. Per Agustus 2010, jumlah pekerja 139,3 juta, pengangguran 14,9 juta dan yang berada di luar bursa kerja mencapai 84 juta.
“Artinya, mereka kehilangan harapan dan berhenti mencari pekerjaan,” lanjutnya. Bahkan, lebih banyak orang lagi akan melakukannya jika tak ada tunjangan pengangguran. Tunjangan dari pemerintah itu dihentikan jika seseorang tidak berusaha mencari pekerjaan dan keluar dari bursa kerja.
Lebih lanjut diungkapkan masalah ini bisa menjadi permanen jika tak ada tindakan atau kebijakan dari pemerintah untuk mengatasinya. “Hal ini harus diperbaiki atau bisa beresiko merusak keseimbangan sosial Amerika.”[ram]